Laman

Selasa, 22 November 2011

BIOTOXIC PADA PERAIRAN


TOKSIN adalah suatu substansi yang mempunyai gugus fungsional spesifik, letaknya di dalam molekul dan menunjukkan aktivitas fisiologis kuat. Toksin atau racun biasanya terdapat dalam tubuh hewan, tumbuhan bakteri dan makhluk hidup lainnya, merupakan zat asing bagi korbannya atau bersifat anti-gen dan bersifat merugikan bagi kesehatan korbannya.  Pembahasan kali ini tentang jenis-jenis racun terutama dalam tubuh mahluk yang hidup dalam air, untuk menghindari timbulnya bahaya akibat mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan. Selain itu pengetahuan tentang struktur toksin akan membuka wawasan akan kemungkinan pemanfaatannya sebagai obat. Di Indonesia, hingga saat ini penelitian terhadap toksin marin belum banyak dilakukan. Tulisan ini akan membahas beberapa jenis toksin marin, seperti Tetodotoxin, Ciguatoxi, Paralytic shellfish poison (PSP), Amnestic shellfish poison (ASP), Diarrhetic shellfish poison (DSP) dan Neurotoxic shellfish poison (NSP). Secara biologis toksin memegang peranan penting dalam hidup binatang dalam terutama menangkap mangsa sebagai pertahanan diri dari gangguan. Secara fisiologis berfungsi pula dalam proses reproduksi. Toksin merupakan substansi yang mempunyai gugus fungsional spesifik, letaknya di dalam molekul dan menunjukkan aktivitas fisiologis yang kuat.  Istilah untuk toksin marin, digunakan untuk racun yang berasal dari organisme laut. Istilah lain yang ada kaitannya adalah racun atau ”bisa”. Toksin masuk ke dalam tubuh melalui mulut, sedangkan ”bisa” melalui sengatan atau gigitan.   Kebanyakan toksin ini diproduksi oleh alga (fitoplankton). Toksin terakumulasi dalam tubuh ikan yang mengkonsumsi alga tersebut atau melalui rantai makanan lain.  Yang unik dari toksin adalah tidak dapat dihilangkan atau tidak rusak dengan proses pemasakan.   Tetrodotoxin (Puffer Toxin

Paralytic Shellfish Poison
Senyawa toksik utama dari ”paralytic shellfish poison” adalah ”saxitoxin” yang bersifat ”neurotoxin”. Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah ”Paralytic shellfish poisoning” (PSP). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata beracun. Dinoflagelata adalah agen saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya. Kerang-kerangan menjadi beracun di saat dinoflategelata sedang melimpah karena laut sedang pasang merah atau ‘red tide’. Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus), hewan ini mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin. Dan dilaporkan menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya. Jenis plankton yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella dan A. tamarensis, Pyrodinium bahamense. Keracunan Saxitoxin menimbulkan gejala seperti rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Kemudian berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernapasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernapasan.

Amnesic Shellfish Poison
Komponen utama dari amnesic shellfish poison adalah domoic acid. Domoic acid merupakan asam amino neurotosik, dimana keracunannya dikenal dengan istilah ”Amnesic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan karena mengkonsumsi remis (”mussel”). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Nitzhia pungens dimana melalui rantai makanan, mengakibatkan remis mengandung racun tersebut. Domoic acid mengikat reseptor glutamat di otak mengakibatkan rangsangan yang terus-menerus pada sel-sel saraf dan akhirnya terbentuk luka. Korban mengalami sakit kepala, hilang keseimbangan, menurunnya sistem saraf pusat termasuk hilangnya ingatan dan terlihat bingung dan gejala sakit perut seperti umumnya keracunan makanan. Telah dilaporkan toksin tersebut juga dapat mengakibatkan kematian.  

Neurotoxic Shellfish Poison
Komponen utama dari neurotoxic shellfish poison adalah brevitoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Brevitoxin disebut ”Neurotoxic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kerang-kerangan dan tiram. Toksin ini diproduksi oleh alga laut Ptychdiscus brevis dimana melalui rantai makanan mengakibatkan kerang dan tiram mengandung racun tersebut.  Gejala keracunannya meliputi rasa gatal pada muka yang menyebar ke bagian tubuh yang lain, rasa panas-dingin yang bergantian, pembesaran pupil dan perasaan mabuk.


Diarrhetic Shellfish Poison
Komponen utama Diarrhetic shellfish poison adalah okadaic acid. Komponen yang lain adalah pectenotoxin dan yessotoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Okadaic acid ini disebut ”Diarrhetic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kepah (mussel) dan remis (scallop). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Dinophysis fortii dimana melalui rantai makanan mengakibatkan remis mengandung racun tersebut.  Senyawa dari klas okadaic acid ini mempunyai efek sebagai promotor tumor. Gejala utama keracunan DSP adalah diare yang akut, dimana serangannya lebih cepat dibandingkan dengan keracunan makanan akibat bakteri. Selain itu, mual, muntah, sakit perut, kram dan kedinginan. Hingga saat ini informasi ataupun penelitian yang berkaitan dengan cara penanganan dan atau pengolahan yang mampu untuk mencegah bahaya keracunan toksin tersebut belum banyak diperoleh.

– Susiana Purwantisari, Staf Pengajar di Jur. Biologi FMIPA Undip


Penyebab HAB dari Dinoflagellata
Apabila suatu alga yang memiliki racun mengalami blooming pada daerah perairan, maka sudah dipastikan akan terjadi HAB. Salah satunya adalah racun PSP (Paralytic shellfish poisson) terutama ditemukan pada dinoflagellata dari jenis Alexandrium, Gymnodinium dan Pyrodinium. (Anderson, 1996)
Pada umumnya dinoflagellata ini merupakan makanan bagi bivalvia (kerang), dengan cara menyaring dari sekitarnya (filter feeding). Dalam proses pencernaanya alkoloid yang bersifat racun bagi sistem syaraf dari mikroalgae tersebut dikenal dengan “saxoloxin” terakumulasi pada bagian tubuh kerang tersebut, sedangkan kerangnya sendiri tidak mengalami kesakitan. Namun bila kerang yang terkontaminasi ini dimakan manusia, maka akan dapat berbahaya sekali bagi kesehatan.
Di Indonesia penyebaran mikroalga penghasil toksin PSP ini belum banyak diketahui, akan tetapi kasus kejadian yang mirip dengan gejala yang ditimbulkannya setelah mengkonsumsi biota laut tercatat semakin meningkat di berbagai lokasi. Salah satunya kasus kejadian keracunan tercatat di Teluk Ambon pada bulan Juni 1994 yang mengakibatkan korban jiwa setelah mengkonsumsi kerang-kerangan yang dikoleksi dari perairan tersebut. (Widnyana et al., 1994) Diduga penyebabnya adalah kontaminasi racun atau toksin PSP dari jenis dinoflagellata Pyrodinium sp. Yang terakumulasi dalam tubuh kerang, karena pada saat kejadian keracunan di perairan ditemukan cukup melimpah jenis dari dinoflagellata beracun ini. (Sidabutar, tumpak - LIPI 1997) 
Fenomena Red Tide di Teluk Ambon
Kehadiran fitoplankton beracun di perairan di Teluk Ambon diketahui sejak kejadian fenomena “red tide” pada tahun 1994 yaitu dari spesies Pyrodinium bahamense var compressum yang telah mengakibatkan keracunan pada masyarakat setelah mengkonsumsi kerang-kerangan yang dipanen dari teluk ini (Widnyana et al., 1995) Spesies dinoflagellata ini tergolong sangat beracun (toksik) yang dapat mengakibatkan fatal bila terkonsumsi dalam jumlah tertentu. Dengan kepadatan yang rendah kehadiran spesies ini perlu diwaspadai. Di Fillipina kehadiran sel Pyrodinium ini dengan kelimpahan sekitar 200 sel per liter sudah diwaspadai dan segera dilakukan tindakan pencegahan agar bivalvia yang dibudidaya di lokasi perairan yang terkontaminasi tidak dikonsumsi oleh masyarakat pada saat itu (Corales & Gomez, 1990)

Penyebab Bloom
Perairan yang kaya dengan unsur hara akan memicu pertumbuhan populasi dengan cepat. Bila kualitas perairan cukup mendukung, maka dapat memicu terjadinya “blooming” dari beberapa spesies tertentu. Fenomena ini biasanya ditandai dengan adanya perubahan warna yang terjadi di perairan (red tide) baik skala mikro maupun makro. Pertumbuhan populasi dengan cepat mengakibatkan stok hara di perairan semakin menipis dalam waktu singkat, dan akibatnya produktifitas di daerah tersebut akan berkurang, dan akan berbahaya bagi lingkungan. Selain itu faktor fisika-kimia juga akan berpengaruh besar, demikian juga faktor biologi. (Sidabutar, 1997)


Dampak dari HAB
Menurut Kennish (1990) spesies dinoflagellata tertentu menghasilkan racun. Ketika terjadi blooming dimana kepadatannya dapat mencapai 5 x 105 1 5 sampai 2 x 106 sel/L, racun yang tertumpuk akan mematikan ikan, kekerangan dan organisme lain. Blooming dinoflagellata biasanya memberikan warna merah atau coklat pada perairan. Kondisi blooming ini dikenal dengan Red Tide.
Genera Gonyaulax dan Ptycodiscus (gymnodinium) merupakan penyebab terjadinya red tide yang toksik ini. Grahame (1987) menyatakan bahwa dua spesies yang menyebabkan blooming ini adalah Gonyaulax polyhedra dan Ptycodiscus brevis (=Gymnodinium breve). Menurut Anderson (1994) Gymnodinium breve telah mengakibatkan kematian berton-ton ikan di pantai teluk Florida dan mengakibatkan kerugian materi yang sangat besar karena terhentinya bisnis turisme dan bisnis pendukung lainnya selain, kerugian ekologis. Kasus yang sama pernah terjadi di teluk Mexico. Di teluk Walvis di pantai Afrika Selatan pada sisi Laut Atlantik pernah terjadi red-tide yang disebabkan oleh jenis Gonyaulax dan mengakibatkan kematian pada manusia yang mengkonsumsi jenis kekerangan (Charton dan Tietjen, 1988). Racun yang dihasilkan sel-sel dinoflagellata pada red tide ini dapat membunuh ikan secara langsung setelah sel-sel menembus insangnya. Pada jenis kekerangan toksin yang terakumulasi dalam hepatopancreas menyebabkan gangguan neurologi dan kelumpuhan bagi orang yang mengkonsumsinya dan dapat pula menyebabkan gangguan pencernaan/diare.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar